Latest Articles

Saturday 11 March 2017

Lukisan Digital
Beberapa Testimoni baru dari kami





Testimoni yang lain anda bisa cek di Jasa Edit Foto Smudge

Cocok sebagai hadiah sahabat ataupun pasangan Anda. Harga mulai 50 ribuan +, tuk softfile dan 120 ribuan +, tuk hardfile (langsung cetak/bingkai) tergantung kerumitan olahan poto.
Keuntungan dri Lukisan Digital, durasi kerja lebih cepat 1-3 hari, ketimbang Lukisan Manual yg durasinya agak lama 1-2 minggu bahkan smpai 1 bulan. Untuk informasi lengkap dan pemesanan

Silahkan hubungi :
BBM : DAC8E4A0
Whatsapp : 082293841676
Continue reading

Sejarah Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab
Prolog
Seperti yang telah diketahui pada abad 18 Masehi, dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan, baik itu dari segi kenegaraan maupun dari segi moral umat Islam pada waktu itu. Perkembangan ilmu agamapun mengalami kebekuan.Ketauhidan yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw, telah diselubungkan khurafat-khurafat dan faham kesufian.Kebanyakan dari mereka telah meninggalkan masjid-masjid dan lebih memilihi beribadah di kuburan-kuburan keramat dan mereka senang memakai azzimat guna melindungi diri.Mereka memuja para wali sebagai manusia suci dan sebagai perantara kepada Allah karena mereka sendiri menganggap Alla begitu jauh dari manusia awam.[1]
Pada abad ke 18 Masehi ini pula, kaum Muslim mengalami stagnasi pemikiran pada umumnya mereka disibukkan oleh asketisme.Dan semakin gencar selogan tertutupnya pintu ijtihad. Disamping itu, tradisi yang bersifat bid’ah dan khurafat semakin meraja lela. Dengan adanya fatwa ditutupnya pintu ijtihad ini, maka berkembanglah bid’ah dan khurafat.[2]
Melihat kondisi semacam ini ternyata menimbulkan inspirasi dan motivasi bagi Muhammad bin Abdul Wahab untuk merespon kebobrokan tersebut dengan menggagas kembali semangat rujuk pada ajaran agama Islam murni, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Dalam melakukan dakwahnya, selain melalui lisan dan tulisan, juga melalui sebuah gerakan yang cukup terorganisir dan sukses, baik dalam aspek keagamaan maupun politik.
  
Pembahasan
A.     Biografi
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang ulama terkenaldan tokoh besar reformasi pada masanya. Ia juga seorang teolog dan tokohpembaharu Islam terkemuka dari Arab. Muhammad bin Abdul Wahhab memilikinama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali binMuhammad bin Rasyid bin Rasyid bin Bari bin Musyarif bin Umar bin MuanadRais bin Zhahir bin Ali Ulwi bin Wahhab. Lahir di Najed (Uyainah), 70 km disebelah barat daya  Riyadh, ibukota kerajaan Saudi Arabiapada tahun 1703 Mdan wafat pada tahun 1787 M di Uyainah Saudi Arabia. Ia berasal dari keluargayang sangat terhormat dan terpelajar. Ayahnya, Syekh Abdul Wahhab binSulaiman, mempunyai karakter yang sangat ilmiah dan bijak, mewarisi statusmulia yang disandang oleh leluhurnya, Syekh Sulaiman bin Ali, adalah seorangpemimpin ulama dan orang yang benar-benar berpengalaman dalam mengajar,menulis dan memberikan keputusan.[3]
Sejak kecil Muhammad bin Abdul Wahab dikenali sebagai orang yang serdas serta memiliki ingatan dan hafalan yang kuat. Beliau menghafal Alquran sebelum mencapai usia sepuluh tahun dan kemudian mempelajari kitab fiqh mazhab Hanbali, serta hadis dan tafsir. Abdul Al-Wahab memuji kelebihan anaknya sehingga beliau turut mengambil manfaat dari keluasan ilmunya serta melantik beliau sebagai imam kendatipun masih muda. Setelah berlalu beberapa tempo masa, Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah haji di Mekah serta menziarahi Madinah selama dua bulan. Setelah selesai menunaikan ibadah haji beliau kembali ke Uyainah dan menyibukkan dirinya dalam menuntut ilmu dari ayahandanya yang dimana pada setiap sesi pembelajaran beliau dapat menulis sekitar 20 halaman. Diantara gurunya di Mekkah terdapat nama Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi. Semua gurunya termasuk ayah dan kakaknya adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.[4]
Muhammad bin Abdul Wahab merupakan  seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang bernama Wahabi dan beliaupun pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Beliau berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni.Para pendukung gerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahab menurut mereka adalah ajaran Nabi, bukan ajaran tersendiri.Karennya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti “satu Tuhan”.
Nama Wahabi atau al-Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada  nama Abdul al-Wahab yakni nama ayahanda Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Bagaiamanapun nama Wahabi ditolak oleh para penganut Wahabi itu sendiri dan mereka mendakwahkan diri sebagai golongan Muwahhidun karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam  serta kehidupan murni yang merujuk pada ajaran Rasulullah.

B.     Gerakan Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab.
Sejak kecil Muhammad bin Abdul Wahab memberi perhatian dalam melaksanakan amal kebaikan serta mencegah kemungkaran. Menerusi pembelajaran terhadap kitab fiqh serta hadis, beliau merasa amat berduka cita melihat tindakan bid’ah yang dilakukan oleh penduduk Uyainah.Lantas beliau beliau berusaha mengatasi amalan yang menyalahi akidah.Ketika di Basrah, al-Syeikh al-Imam (Muhammad bin Abdul Wahab) mulai melaksanakan tanggung jawab membasmi kemungkaran tanpa merasa takut melainkan hanya kepada Allah Swt. Beliau menghadapi kesukaran besar tatkala melaksanakan perkara ini sehingga terpaksa meninggalkan Basrah.[5]
Ketika di al-Zubair, al-Syeikh al-Imam pulang ke Huraimila’ untuk meneruskan aktivitas membasmi kemungkaran dan menyebarkan tauhid serta akhlak Islam.Secara realiti, Huraimila’ merupakan tempat dimana perjuangan dakwah beliau diasaskan.Beliau berhasrat agar terwujudnya sentimen pembaikan serta kasih sayang golongan badui sebagai penggantian terhadap tradisi mencuri, merompak, serta berbagai jenis aktivitas tidak bermoral lainnya.Apa yang dikehendakinya ialah pembaikan terhadap akidah golongan jahil, supaya berpegang teguh dengan akidah yang haq, menggantikan penyembahan palsu. Tindakan ini memerlukan keimanan yang ikhlas serta penuh kesungguhan.Dalam konteks ini, beliau memamerkan sikap penuh kesabaran menghadapi segala rintangan serta kesukaran dalam menyeru kepada tauhid serta meninggalkan penyembahan serta beristigoshah (memohon hajat) kepada selain Allah seperti terhadap para sahilin, kubur, dan makam.[6]
al-Syeikh al-Imam melaksanakan tanggung jawab membasmi perbuatan bid’ah kepada kubur ini secara praktikal. Dalam konteks ini golongan penguasa serta kaum kerabat beliau ada yang memamerkan sikap yang prejudis terhadap tindakannya. Namun al-Syeikh al-Imam berterusan dengan tindakannya dengan penuh kesabaran serta semangat yang tinggi sehingga tersebar seruan dakwah di Huraimla’, Uyainah, al-Dar,iyyah, Riyadh serta daerah lainnya. Hanya setelah Abdul al-Wahab meninggal dunia, seruan beliau tersebar dengan meluas.Sehingga sebagian besar penduduk Huraimila’ serta lainnya menjadi pengkut serta membantu beliau. Selain itu majelis pengajian yang diasaskannya mendapat sambutan hebat masyarakat setempat serta daerah lain dan pada saat di Huraimila’ juga al-Syeikh al-Imam menyelesaikan penulisan Kitab al-Tauhid.[7]
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa sentral dari pemikiran pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab terkait dengan pemurnian tauhid yang terjabarkan dalam persoalan bid’ah, taklid, dan ijtihad. Menurutnya pemurnian akidah merupakan pondasi yang paling vital dalam pendidikan Islam.Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan metode yang sangat efektif dalam penyaluran keilmuan.
Kerangka pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab berangkat dari pemahaman ketauhidan kepada Allah Swt. Ia membagi ketauhidan menjadi dua yakni tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah.Tauhid uluhiyah adalah tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan penyaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah, yang dilahirkan dengan ucapan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”.Selain itu hanya berbakti kepadanya saja.Sedangkan tauhid rububiyah artinya kepercayaan bahwa pencipa alam ini adalah Allah tetapi tidak dengan mengabdi kepada Allah.[8]
Dalam pemikiran beliau, tauhid uluhiyah inilah yang dibawa oleh para nabi dan rasul sementara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian manusia kepada Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya cara menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah agar umat manusia kembali kepada Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik bagi manusia. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern diantaranya :[9]
a.       Hanya Alquran dan hadis yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Ijtihad ulama bukan merupakan sumber.
b.       Taqlid kepada ulama tidak dibolehkan.
c.       Pintu Ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka.
Konsep pemikiran pembaharuan yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang tersebut di atas, masih sangat relevan pula pada kondisi pemikiran masyarakat yang hidup pada abad ini. Dengan bermunculannya berbagai macam isme-isme yang dapat dengan mudah memasuki ruang masyarakat awam dengan mengatasnamakan semangat kebersamaan serta kesejahteraan sosial. Maka sangat pantaslah jika paham-paham tersebut perlu ditinjau dari prespektif Alquran dan hadis, sebab sebagai muslim yang taat, tentu Alquran dan hadis merupakan referensi yang sangat autentik untuk kita pedomani. Dalam prespektif Nurcholis Majid (Cak Nur),bagi seorang muslim, yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life, semua nilai dasar way of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci Alquran, maka sebagai penganut Islam dengan sendirinya juga menganut cara berpikir yang Islami.[10]
Begitu pula dengan persoalan taqlid kepada ulama’.Secara umum taqlid merupakan keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham atau pendapat ahli hukum yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasar atau alasannya.[11]Ini merupakan hal yang timbul dikarenakan masyarakat yang sangat fanatik dalam bermazhab dan inilah salah satu problem yang mengakibatkan peradaban Islam menjadi terbelakang. Kaum fanatik terlalu percaya diri pada tradisi keilmuan yang telah diwarisi dari ulama terdahulu dan menganggap bahwa apa yang mereka katakan akan selalu relevan sepanjang masa dan di mana saja.
Tanpa mereka sadari, justru fanatisme bermazhab itu adalah hal-hal yang sangat mengakibatkan terjadinya stagnansi pemikiran. Hal ini syarat dengan apa yang pernah dikatakan oleh salah satu Imam mazhab dalam Ahlussunna wal Jama’ah yakni Imam Ahmad bin Hanbal bahwa “ janganlah kalian bertaqlid kepadaku, Malik, Al-Syafi’I, dan Al-Tsauri, tetapi belajarlah kalian seperti kami ”.[12] Artinya apa, bahwa apapun yang dikatakan oleh para ahli hukum ataupun ulama’ janganlah mudah untuk mengikutinya apalagi kita jadikan pedoman tanpa ada pertanyaan ataupun dialog terlebih dahulu, tapi tirulah sikap para ulama’ dalam mencari dan mengkaji ilmu baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan yang lain.
Salah satu hal yang menimbulkan sikap taqlid karena adanya penuduhan bahwa  setiap ijtihad kreatif dan inovatif akan akan menodai kesakralan agama. Berdasarkan fenomena inilah seingga muncul semboyan tertutupnya pintu ijtihad yang di mana karya-karya ulama masa lampau dianggap final serta harus diamalkan begitu saja tanpa adanya kritik ataupun dialog terlebih dahulu. Sehingga sikap harus membebek terhadap para ulama tertanam dan tumbuh hingga kegenerasi sekarang. Imam Malik bin Anas secara inklusif berkata, “ Aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, maka telitilah pendapatku, jika sesuai dengan Alquran dan sunnah maka ambillah, jika tidak sesuai maka tinggalkanlah “.[13]Perlu kiranya statement dari Imam Malik tersebut kita kontemplasikan agar sikap fanatisme dalam bermazhab dapat terkikis demi berkembangnya kembali peradaban Islam.
Ini sangat selaras pula dengan pemikiran Cak Nur bahwa perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar adalah memaksimalkan  kerja akal (rasio) untuk kebahagiaan umat manusia dank arena adanya perintah Tuhan untuk mempergunakan akal dan pikiran itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya.[14]




[1]Suwitno dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung : Angkasa, 2003) h. 267-268
[2]Husni Rahiem, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam (Jakarta : Departemen Agama RI, 1986) h. 15
[3]Muhammad Bin Abdul Wahab dan Muhammad Ali Pasha (Studi Pemikiran Pembaharuan dan Pengaruhnya Terhadap Peradaban Moder)Website :www.digilib.uinsby.ac.id.
[4]Mas’ud al-Nadwi, Syeikh Muhammad bin ‘Abd. al-Wahhab : Tokoh Yang Dizalimi. Terjemahan : Mohd Amin Yaacob, Website : www.hafizfirdaus.com. h. 19
[5]Mas’ud al-Nadwi, Syeikh Muhammad bin ‘Abd. al-Wahhab : Tokoh Yang Dizalimi. Terjemahan : Mohd Amin Yaacob, Website : www.hafizfirdaus.com. h. 21
[6] Ibid. h. 22
[7] Ibid.
[8]Muhammad Bin Abdul Wahab dan Muhammad Ali Pasha (Studi Pemikiran Pembaharuan dan Pengaruhnya Terhadap Peradaban Moder)Website :www.digilib.uinsby.ac.id.
[9]Suwitno dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung : Angkasa, 2003) h. 273
[10]Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2013) h. 209
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[12]Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran (Teologi Kerukunan Umat Bergama) (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2011) h. 125-126
[13] Ibid, h. 125
[14]Ibid, h. 209-210
Continue reading

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Setelah dua madzhab terpenting yakni rasionalisme (Rene Descartes) dan empirisisme (Bacon) sudah didiskusikan pada sesi diskusi sebelumnya, di satu sisi, rasionalisme mendewakan akal sebagai sumber pengetahuan, di sisi yang lain empirisisme membuktikan akal yang tidak berdaya di depan pengalaman. Pertentangan dari dua aliran tersebut mempengaruhi pemikiran pada saat itu.
Di tengah-tengah pertarungan antara ideologi rasionalisme dan empirisisme, Kant hadir sebagai wasith yang menggabungkan kedua aliran tersebut. Inilah yang kemudian disebut sebagai zaman kritisisme, sebuah teori pengetahuan yang mengetengahkan antara akal dan pengalaman.
Upaya menyintesiskan kedua sumber pengetahuan tersebut menjadi paradigma episteme yang baru merupakan prior research-nya Kant. Dari upaya pemaduan ini, Kant memberikan argumentasi-argumentasi logisnya untuk membuktikan penemuannya itu. Bagi Kant, baik rasionalisme maupun Empirisme belum berhasil membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan yang pasti, berlaku umum, dan terbukti dengan jelas.

B.        Rumusan Masalah
1.         Pengertian Metodologi dan Verifikasi
2.         Bagaimana Metodologi dan Verifikasi Pengetahuan Kant.

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Metodologi dan Verifikasi
Metodologi berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan ""logos, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. logos artinya ilmu.[1]
Metodologi adalah sebuah ilmu atau cara yang digunakan untuk memperoleh suatu kebenaran menggunakan sistem penelurusan dengan cara – cara tertentu untuk menemukan kebenaran yang tergantung dari sebuah  kajian yang realitas.[2]
Prof.Dr. Ermaya Suradinata, Msi, metodologi adalah mekanisme secara terpadu yang dilakukan melalui prosedur dengan cara-cara yang telah disepakati secara umum melalui pikir nalar.
Verifikasiberasal dari bahasa latin yakni verificare-dari verus yang berarti benar atau facere membuat sedangkan dalam bahasa inggris disebut verification.
Verifikasi adalah teori filsafat positif logis dalam memilih yang menyatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisis logis dapat dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk pemecahkan masalah melalui metode verifikasi empirik yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka hasilnya adalah sia-sia. penganut teori radikal ini memiliki masalah konsekuensi untuk filosofi tradisional, karena, jika benar, akan menyebabkan banyak pekerjaan sia-sia pada filosofis masa lalu, antara lain pada metafisika dan etika.[3]

B.        Sekilas tentang Imanuel Kant
Kant lahir di kota kecil bernama KÅ‘nigsberg (sekarang disebut Kaliningrad, Rusia), Prussia Timur, Jerman, pada tanggal 22 April 1724. Keluarganya sangat religius, tetapi Kant tidak pernah menjadi pejabat di sebuah gereja.[4]
Proses Pendidikan yang dilalui Kant tidak pernah keluar dari tanah airnya. Bisa dikatakan, ia merupakan produk dalam negeri yang mampu mendunia. Di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme, Kant memulai pendidikan formalnya pada usia delapan tahun. Di sekolah tersebut ia dididik dengan disiplin sekolah yang keras. Sebagai seorang anak, Kant diajar untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, suatu sikap yang kelak amat dijunjung tinggi sepanjang hidupnya. Di sekolah ini pula Kant mendalami bahasa latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka.[5]
Pada tahun 1740, di mana ia telah berumur 16 tahun, Kant belajar di Universitas KÅ‘nigsberg. Di Universitas itulah ia berkenalan baik dengan Maartin Knutzen (1713-1751), dosen yang mempunyai pengaruh besar terhadap Kant. Knutzen adalah seorang murid dari Christian von Wolff (1679-1754), dan seorang profesor logika dan metafisika. Sepeninggal ayahnya yang tanpa mewariskan harta banyak, selama 9 tahun (1746-1755) ia bekerja sebagai tutor pribadi kaum bangsawan di kota  Konigsberg. Pada tahun 1755, di universitas tempat ia belajar, Kant memperoleh gelar Doktor dengan disertasi berjudul: Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatino (Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api), sebuah karya yang juga di bidang ilmu alam. Pada tahun dan di tempat itu pula ia diangkat menjadi dosen. Lima belas tahun kemudian (1770) ia dipromosikan menjadi Profesor pada bidang logika dan metafisika. 

C.        Metamorfosa Pemikiran Kant

Menurut Joko Siswanto, sebagaimana yang dikutip oleh Alim Roswantoro, pemikiran Kant terbagi menjadi empat periode. Pertama, ketika ia masih berada di bawah bayang-bayang Leibniz-Wolf sampai tahun 1760. Periode pertama biasa disebut dengan periode rasionalistik. 

Kedua, berlangsung antara tahun 1760 sampai tahun 1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme, yang dikenal dengan periode empiristik, karena dominasi pemikiran empirisme Hume. Karya yang muncul adalah Dream of Spirit Seer.

Ketiga, dimulai dari tahun 1770, yang dikenal dengan periode kritis. Karya yang muncul di antaranya adalah Kritik der reinen Vernutft (the Critique of Pure Reason) pada tahun 1781, yang kemudian direvisi pada tahun 1787:Prolegomena to Any Future Metaphysics (1785):Metaphysiical Foundation of Rational Science (1786):Critique of Practical Reason (1788),dan Critique ofJudgment.[6]

Keempat, berlangsung antara tahun 1790 sampai akhir hayatnya, 1804. Pada periode ini, perhatian Kant lebih pada persoalan-persoalan agama dan sosial. Karya yang terpenting adalah Religion Within the Boundaries of Pure Reason (1793); Religion Within Limits of Pure Reason (1794); dan sekumpulan essai yang berjudul Eternal Peace (1795).

Dari empat periode tersebut dapat dipahami bahwa Gottfried Leibniz (1646-1716) dan David Hume (1711-1776) adalah di antara banyak filsuf yang mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Kant, terutama dalam konstruksi epistemologinya. Pendidikan filsafat Kant terutama adalah Leibnizian. Pandangan awal Leibniz berputar di sekitar pandangan bahwa pengalaman dan realitas itu sesuai dengan prinsip yang fundamental, dengan asumsi demikian maka pikiran manusia dapat mengetahui dengan pasti struktur dasar semua realitas. Kant tidak menginggalkan warisan Leibniz sepenuhnya.

 Namun, kedatangan Hume mengacaukan pandangan Leibniz tersebut. Menurut Hume, intelektual manusia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menunjukkan bahwa semua prinsip-prinsip dasarnya memiliki landasan yang memadai. Kapasitas rasional kita membantu untuk maju secara praktis, tetapi finalitas, keabsahan, dan kesempurnaan pengetahuan melepaskan diri dari kemampuan tersebut.

Dari ketidaksesuaian dasar di antara filsafat Leibniz dan Hume tentang keabsahan pengetahuan, apakah diperoleh secara rasio atau empirik, bisa dipastikan atau tidak. Maka Kant datang dengan pandangan baru yang sangat kuat pengaruhnya bagi generasi selanjutnya. Ia menganggap Hume terlalu merendahkan filsafat Leibniz, namun dengan begitu bukan berarti ia menerima semua kesimpulan Hume. Meminjam istilah Alim, Kant merupakan kritikus sekaligus pemandu dua aliran yang menghegemoni dalam belantara filsafat. Dus, dalam uraian-uraian selanjutnya tidak akan lepas dari pengaruh konsep-konsep yang ditelurkan oleh Leibniz dan Hume. 

D.       Kritisisme Emmanuel Kant
Setelah mengetahui peran dan penilaian Kant terhadap aliran rasionalisme dan empirisisme, maka tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa Kant telah menciptakan madzhab baru dalam filsafat, yakni madzhabkritisisme. Ketelitian Kant di dalam mengkritisi dua aliran sebelumnya membuktikan bahwa Kant telah mengubah wajah  paradigma filsafat secara radikal.
Ia memulainya dengan memusatkan atas manusia sebagai subjek berpikir. Implikasinya, ia tidak mengawali penilaian atas benda-benda sebagai objek, melainkan mengawalinya dengan investigasi atas struktur-struktur subjek yang memungkinkan untuk menilai benda-benda sebagai objeknya. Sebab, diakui atau pun tidak, pengetahuan lahir karena adanya aktifitas indra dan akal untuk menilai gejala-gejala yang disebabkan pertemuan dengan objek.
Dengan demikian, penting sekiranya untuk mendiskusikan teori pengetahuan Kant, metode perolehannya, sekaligus proses verifikasi pengetahuan. 

E.        Metodologi dan Verifikasi Pengetahuan Kant
Menurut Kant, sebagaimana dikutip Nuchelsmans, pengetahuan merupakan hasil akhir dari adanya kerjasama dua komponen, yaitu di satu pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi (baca: sensibility), dan di lain pihak cara mengolah kesan-kesan yang bersangkutan  sedemikian rupa (baca: understanding) sehingga terdapat suatu hubungan antara sebab dan akibatnya.[7]
Persepsi merupakan pengetahuan awal yang diperoleh indera (sensibility), baik itu diperoleh dalam dunia faktual, maupun hanya sebatas fantasi atau angan-angan yang secara sadar tidakpernah dialami oleh subjek. Term persepsi di sini tidak ada proses pemaknaan suatu objek, jadi sebuah objek berdiri sendiri tanpa intervensi subjek. Ringkasnya, saat kita membuka mata, telinga, dan menggunakan indera kita, maka di situlah letak dimulainya pengetahuan.
Sedangkan pemahaman (understanding) merupakan awal dari sebuah pengertian, karena konseptualisasi secara tentatif dan hipotesis menggolongkan dan menghubungkan apa yang dialami secara inderawi sebagai sesuatu dengan sebutan tertentu, dengan bahasa lain konsepsi adalah murni dan tidak empiris yang dihasilkan dengan pemikiran dan pemahaman. Dus, konsepsi perlu diverifikasi atau diuji kebenarannya. Selanjutnya, jika tersedia bukti atau alasan yang memadai untuk menjamin penegasan bahwa memang demikian, maka proses mengetahui mencapai tujuan akhirnya, yakni membuat klaim kebenaran (truth claim). Dalam pengertian ini, klaim kebenaran disebut dengan judgment. Singkatnya, konseptualisasi dilakukan dalam rangka membuat suatu penilaian (judgment).
Menurut Kant, beberapa penilaian (judgment) setidaknya ada tiga kategori. Yakni analitik a priori, sintetik a posteriori, dan sintetik a priori.Selanjutnya kita teliti tentang kedua kategori yang ditelurkan oleh Kant tersebut.Pertama, penilaian analitik a priori artinya sebuah penilaian yang bersifat universal, pasti, dan kebenarannya tidak bergantung pada pembuktian empiris, karena predikat telah terkandung setidak-tidaknya di dalam subjek penilaian. Misalnya di dalam klaim bahwa semua segitiga memiliki tiga sudut. Penilaian semacam ini tidak lagi membutuhkan pembuktian empirik dengan menghadirkan sebuah segitiga untuk membuktikan kebenarannya memiliki tiga sudut.
Kedua, sintetik a posteriori, yang artinya subjek tidak memiliki predikat, dan status kebenaran itu bergantung pada pembuktian empirik. Misalnya ungkapan “banyak mawar berwarna merah.” Ungkapan demikian tidak bersifat universal, tidak pula berdasarkan makna yang dilihat dari batasan-batasannya. Secara faktual, banyak juga mawar yang berwarna putih, misalnya. Artinya ungkapan tersebut tetap mempunyai kontradiksi dengan ungkapan fakta yang lain. Oleh karena itu, secara kuantitas, inilah yang disebut sebagai penilaian partikular.
Ketigapenilaian sintetik a priori, yakni predikat penilaian tidak terkandung di dalam subjeknya, namun kebenaran itu bersifat pasti, universal, dan tidak bergantung pada pembuktian empiris. Misalnya segala kejadian mempunyai sebabnya. Putusan model demikian berlaku umum dan mutlak (a priori) dan bersifat sintetis a posteriori, karena dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka dalam putusan ini, baik akal maupun pengalaman inderawi dibutuhkan serentak. Menurut Kant, sebagaimana dilansir Muslih, jenis putusan ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.[8]
Singkatnya, hukum kausalitas sebagai contoh penilaian sintetik a priori merupakan suatu prinsip regulatif sebagai peraturan universal bagi seluruh penyelidikan rasional. Semua prinsip jenis ini adalah a priori sekaligus sintetis. Dengan demikian prinsip-prinsip itu jelas universal dan niscaya. Dus, validitasnya tidak bergantung pada konfirmasi pengalaman. Sebaliknya, validitasnya sudah diandaikan oleh semua keputusan yang hendak memberi kita pengalaman tentang sebuah fenomena.[9]Walhasil, persoalan fundamental filsafat kritik Kant adalah, “Bagaimana putusan-putusan sintetis a priori dimungkinkan?. Selanjutnya akan kita diskusikan bagaimana upaya metodologis Kant untuk bisa memproleh pengetahuan sintetik a priori.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa pengetahuan sintetik a priori merupakan sebuah keniscayaan. Maka Kant membuat semacam pembedaan-pembedaan dan faktor-faktor yang harus dipahami untuk merealisasikan pengetahuan sintetik a priori, yaitu dengan membedakan antara realitas fenomenal dan realitas noumenal.
Realitas fenomenal adalah realitas seperti yang tampak pada kita, sedangkan realitas noumenal adalah realitas yang terlepas dari bentuk dan susunan (order) yang kita perkenalkan.
Pembagian realitas seperti demikian menunjukkan bahwa, pengetahuan manusia yang memiliki dasar cukup akan dibatasi pada wilayah fenomena sekaligus syarat-syarat yang harus diperlukan untuk menjelaskan pengalaman kita di dalamnya. Sesuatu yang riil dan independen, yang muncul pada pikiran, tidak akan pernah menciptakan sebuah dunia dari dirinya sendiri, melainkan hanya menyusun dan membentuk apa yang kita temui pada realitas fenomenal, dengan maksud untuk membentuk sebuah dunia pengalaman.
Untuk membedakan pengetahuan lewat realitas noumenal dan fenomenal, Kant memberikan penjelasan yang ketat. Pertama-tama adalah realitas fenomenal, pada dasarnya semua bentuk persepsi kehidupan manusia selalu terbatasi oleh ruang dan waktu, tidak ada objek yang bisa kita tangkap tanpa adanya konsep ruang dan waktu, sebab memang tidak ada objek –secara kasat mata– yang terlepas dari ruang dan waktu itu sendiri. Lebih dari itu, semua persepsi kita –entah itu berasal dari perasaan, pengandaian, dan pikiran kita sendiri– akan selalu mengikuti satu sama lain secara temporal. Jadi, ruang dan waktu bukan semata-mata konsep yang kita temukan secara empirik, melainkan sudah membentuk dan mengkonstitusikan segala sesuatu yang muncul dari pengalaman perseptual kita.
Kant mengatakan, sebagaimana dikutip oleh John K. Roth “Meskipun semua pengetahuan kita dimulai dari pengalaman, tidaklah berarti bahwa semua pengetahuan muncul dari pengalaman.[10] Dimulai artinya proses sensibilitas inderawi, sedangkan muncul artinya proses pemahaman. Dengan demikian menjadi kesimpulan bahwa meskipun pengetahuan memiliki akarnya pada pengalaman perseptual, namun pengetahuan juga memerlukan aplikasi pemahaman atau akal manusia ke dalam isi inderawi. Kesimpulannya, pengalaman dan pemahaman kita tentang sesuatu akan tertabatasi pada realitas secara fenomenal.
Bagaimana tentang realitas noumena?. Sebagaimana sudah kita senggol di atas bahwa noumena merupakan realitas yang di luar bentuk dan susunan dari yang kita alami secara empirik. jadi, wilayah ini adalah transendental bagi pengetahuan manusia. Menurut Alim ketika memahami Kant, pengetahuan noumena tidaklah mugkin, karena noumena adalah objek di luar fenomenal yang terlepas dari ruang dan waktu. Ia juga menyimpulkan bahwa konsep noumena dipakai oleh Kant semata-mata sebagai “lampu merah” peringatan ketidakmungkinan untuk mengetahuinya, namun penjelasan konsep noumena ini juga tidak bisa dihindarkan sebagai suatu penggunaan transendental yang berarti bahwa walaupun kita tidak bisa menjangkaunya, namun noumena sendiri menjadi dasar bagi semua pengalaman yang mungkin.
Selanjutnya, realitas noumena ini pun dibagi menjadi dua, yakni noumena positif dan noumena negatif. Misalnya ketika berbicara masalah “keadilan”, maka keyakinan yang pasti akan adanya keadilan secara sempurna dalam dunia fenomenal adalah omong kosong (ketidakmungkinan ini adalah noumena positif), namun karakter-karakter keadilan yang menggejala dan yang bisa ditangkap oleh ruang dan waktu, inilah yang disebut noumena negatif.

BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Dari penjelasan yang singkat dan global di atas, menurut penulis ada beberapa kesimpulan yang menjadi kewajiban untuk ditulis di sini. Pertama, di dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan keabsahannya, tidak ada pemisahan antara proses mengindera (sensibility) dan memahami (understanding). Sebab tanpa indera, seseorang tak bisa memahami sesuatu, sebaliknya tanpa pemahaman seseorang akan menerima begitu saja tentang apa yang ia indera.
Kedua, di dalam diri subjek –termasuk indera dan akal– selalu terkondisikan oleh ruang dan waktu, begitu pula objek yang diindera oleh subjek pastilah sesuatu yang terkondisikan oleh ruang dan waktu. Nah, lewat pemahaman Kant yang demikian memberikan kita pembedaan “mana yang bisa dipikirkan, mana yang tidak bisa dipikirkan.” Singkatnya, sesuatu yang tidak terkondisikan oleh ruang dan waktu, tidak bisa untuk dijadikan sebagai pengetahuan. Di sinilah porsi keimanan tentang sesuatu yang transendent mempunyai ruang tersendiri –yang lagi-lagi subjektif.
Ketiga, melalui pemahaman tentang objek yang terkondisikan (fenomenal), dan objek yang tak terkondisikan (noumena), mengingatkan kembali atas konsep-konsep di dalam teks Islam –yang mungkin dipahami secara parsial oleh “sebagian” orang. Oleh sebab itu, pemahaman yang demikian diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep universal yang mengakomodir kepentingan semua pihak, tidak partikular yang hanya mementingkan salah satu kelompok atau menyerang salah satu kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

D. Aiken, Henry, Abad Ideologi: Kant, Fichte, Hegel, Schopenhauer, Comte, Mill, Marx, Mach, Nietzsche, Kiergaard, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2009
G. Nuchelsmans, Filsafat Pengetahuan Dalam Berfikir Secara Kefilsafatan, Alih Bahasa: Sujono Sumargono, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1984
Hadi, Amirul dan Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia,1998.
Hardiman, F.Budi, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machievelli sampai Nietzche) Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011
K. Roth, John, Persoalan - Persoalan Filsafat Agama, terjemahan Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Muslih, Mohamad,  Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar, 2008
Wikipedia Ensiklopedia Bebas


[1] Wikipedia Ensikplopedia Bebas
[2]Amirul Hadi dan Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung:Pustaka Setia,1998. h. 34
[3] Wikipedia Ensiklopedia Bebas
[4]John K. Roth, Persoalan- Persoalan Filsafat Agama, terjemahan Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 229
[5]Mohamad Muslih,  Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar, 2008, h. 69
[6]F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machievelli sampai Nietzche) Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011, h. 113
[7]G. Nuchelsmans, Filsafat Pengetahuan Dalam Berfikir Secara Kefilsafatan, Editor dan Alih Bahasa: Sujono Sumargono, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1984, h. 109-110.
[8]Mohamad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar, 2008, h. 74
[9]Henry D. Aiken, Abad Ideologi: Kant, Fichte, Hegel, Schopenhauer, Comte, Mill, Marx, Mach, Nietzsche, Kiergaard, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2009, h. 37-38
[10] John K. Roth, Persoalan- Persoalan Filsafat Agama, terjemahan Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 237
Continue reading

Friday 4 November 2016

Akhir - akhir ini pembahasan terkait aksi demonstrasi  yang pada tanggal 4 November 2016 menjadi trending topik yang disebabkan oleh faktor pemicu, yakni dugaan Penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta yakni Basuk Tjahaja Purnama atau yang lebih kita kenal dengan Ahok.

Bagi kita yang masih tergolong masyakarat awam termasuk penulis, mungkin akan so' cuek cuek aja terkait problem ini sebab banyak pihak yang Pro maupun Kontra terkait aksi demo yang di gagas oleh Habib Rieziq Shihab yang tergabung dalam Aliansi Damai ini, sehingga timbul pertanyaan dalam benak penulis, yang dimaksud penistaan agama itu apa ? kapan sesuatu itu dapat dikatakan menistakan agama ? dan peraturan pemerintah terkait pelaku penistaan agama itu seperti apa ?. Banyak yang mengaitkan pula bahwa tindakan tersebut adalah suatu trik politik yang dibalut oleh agama

Apapun tendensi yang terdapat pada masalah tersebut, bagi penulis sangatlah wajar, yang jelas aksi demo tersebut alangkah baiknya jika dibalut dengan semangat inklusif toleran bukan dengan semangat eksklusif-intoleran. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Gus Mus bahwa " Membencilah namun jangan berlebih-lebihan serta Membela namun jangan pula berlebih-lebihan dalam Membela "

Merespon jargon jihad yang yang diusung, penulis sangat mengapresiasi namun perlu juga ditelisik apakah jihad tersebut apakah sekedar jihad lahiriah atau jihad batiniyah. Karena sepanjang yang penulis ketahui bahwa jihad hanya dibolehkan jika kaum muslimin berada dalam keadaan terdesak seperti dalam keadaan harus melawan begal yang ingin menikamnya atau merasa bahwa jika ia tidak melakukan tindakan ia akan terusir dari rumah atau kampungnya. Lebih jelasnya Jihad dalam Islam itu bersifat defensif bukan ofensif.

Jadi apabila aksi demo tersebut berjalan dengan damai dan indah maka akan sangat bermanfaat karena dasar aksi yang dilakukan tersebut berlandas pada lambannya proses penindakan hukum.
Namun apabila aksi demo tersebut berakhir ricuh, maka akan sangat disayangkan sebab akan bertambah lagi respon negatif pada Islam bahwa Islam di Indonesia hari ini sangat tidak Islami

Pertanyaan kemudian apakah untuk menyelesaikan masalah tersebut jalan final yang harus dilalui adalah Demo ? . Menurutku membuka ruang Dialog Insklusif Toleran malah akan sangat bermanfaat ketimbang demo. Rasulullah Saw pun sangat menganjurkan agar kita menyelesaikan masalah dengan bermusyawarah.
Dan apakah setelah Ahok dipenjarakan akan membuat akhir dari kisah tersebut Happy Ending ?.

Ada anekdot yang muncul dari beberapa teman penulis bahwa pada tanggal 4 November 2016 ini akan menjadi "harinasibungkusnasional" sebab banyaknya massa yang mungkin berkisar puluhan ribu yang pasti membutuhkan makanan. Alhasil anekdot tersebut membuatku tertawa dengan sangat terbahak-bahak
Continue reading